PROKAL.COCatatan: LAUHIL MACHFUDZ

PEKAN kemarin, sebanyak 26 tim mahasiswa dari 19 perguruan tinggi Indonesia beradu teknologi mobil superirit di Shell Eco-Marathon (SEM) Asia 2017 di Singapura. Semangat merah putih yang luar biasa.

Desember lalu, enam mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Negeri Semarang juga berhasil menjadi juara dalam lomba mobil listrik di Jepang. Merah-Putih kembali berkibar di bidang pengembangan teknologi mobil elektrik. Akankah mereka kelak jadi ahli-ahli mobil listrik dalam negeri?

Mungkin masih sebagian yang tahu jika mobil listrik telah dikembangkan di dunia lebih dari 100 tahun lalu. Boleh dikata, usianya juga seumuran mobil berbahan bakar hidrokarbon.

Di National Museum of American History, ada sebuah foto yang menunjukkan tahun 1913, Thomas Edison berfoto bersama sebuah mobil listrik jenis Tribelhorn 1908.

Pada 1897, mobil listrik mulai dipakai sebagai kendaraan komersial di Amerika Serikat sebagai armada taksi listrik New York City. Taksi ini dibuat oleh Electric Carriage dan Wagon Company Philadelphia.

Tentu lebih ramah lingkungan dengan perawatan yang bersih. Lebih nyaman karena tanpa getaran mesin. Tak perlu beli bahan bakar minyak. Tapi, kenapa hingga kini tak memasyarakat seperti mobil konvensional? Jawabannya tak sesederhana kita membayangkan.

Mobil-mobil listrik di Amerika Serikat diproduksi oleh Anthony Electric, Baker, Columbia, Anderson, Fritchle, Studebaker, Riker, Milburn, dan beberapa perusahaan lainnya pada awal abad ke-20.

Meski memiliki kecepatan yang rendah, tapi mobil listrik memiliki banyak kelebihan dibanding kompetitornya pada awal 1900-an. Mobil listrik tidak menimbulkan getaran, mobil listrik juga tidak mengeluarkan gas buang yang berbau, dan tidak berisik bila dibandingkan mobil berbahan bakar bensin.

Selain itu, mobil listrik tidak memerlukan perpindahan gigi seperti pada mobil konvensional yang menjadi penghambat besar dalam mengemudikannya. Mobil listrik pada masa itu juga digunakan oleh orang-orang kaya yang menggunakannya sebagai mobil kota. Sehingga keterbatasan jarak bukanlah hambatan besar.

Bahkan dulu, mobil listrik telah memegang banyak rekor kecepatan dan jarak. Salah satu yang paling terkenal adalah pemecahan rekor kecepatan 100 km/jam (62 mph) oleh Camille Jenatzy pada 29 April 1899.

Ia menggunakan kendaraannya yang berbentuk roket Jamais Contente dengan kecepatan maksimal 10.588 km/jam (6,579 mph). Sebelum tahun 1920-an, mobil listrik bersaing ketat dengan mobil berbahan bakar bensin.

Di Amerika, mobil listrik sudah hadir dalam bentuk prototipe tahun 1990. Kemudian meluncur dalam bentuk mobil komersial pada 1996. Ide mobil ini tercetus karena mahalnya harga minyak dunia pada era 1990-an dan isu pencemaran lingkungan di California.

Saat tengah ramai dielu-elukan, di sinilah kemudian musibah dimulai. Para “mafia” dunia bisnis kelas dunia tak tinggal diam. Rencana “pembunuhan” masif diskenariokan.

Mobil listrik juga diproduksi oleh General Motor (GM) dengan nama Electric Vehicle 1 (EV1). Selang berjalan beberapa tahun, secara mengejutkan, GM malah menarik mobil listriknya sendiri dari peredaran.

Di Amerika, mayoritas warganya memakai mobil dengan sistem sewa tahunan. Tiap konsumen menyewa mobil tersebut tiap tahun, dan harus memperpanjang pada akhir tahun kontrak. GM menghentikan perpanjangan kontrak semua mobil listrik tahun 2002. Semua konsumen “dipaksa” menyerahkan kembali mobilnya. Yang mengejutkan, tahun 2005 menjadi tahun terakhir EV1 turun di jalan raya.

EV1 ditarik kembali oleh GM dari pengendaranya, banyak yang kecewa dan sedih akan hal tersebut. Massa melakukan aksi protes dan menginginkan mobil EV1 yang mereka miliki dikembalikan. Namun, kenyataannya, ada lebih dari lima puluh EV1 telah dihancurkan.

Bukti lain terungkap bahwa masih ada 43 EV1 yang tersisa dan terparkir mulus di halaman parkir GM. Banyak yang meminta EV1 kembali ke jalan, namun pihak GM tidak merespons permintaan tersebut. Masyarakat bertanya-tanya, siapakah di balik kejadian ini?

Pada 14 Maret 2005, GM memutuskan untuk menghancurkan mobil listrik yang tersisa, aksi protes terjadi di pintu gerbang. Aparat kepolisian setempat harus turun tangan untuk mengamankan situasi. Namun, aksi protes ini berujung sia-sia dan EV1 harus “dibunuh”.

Kejadian ini menggugah Chris Painepada tahun 2006 silam membuat sebuah film dokumenter bergaya jurnalistik mengungkap misteri “pembunuhan” mobil listrik di California yang sempat meramaikan jalan raya pada medio 90-an itu. Film berjudul Who Killed The Electric Car berdurasi 1 jam dan 1 menit itu menelusuri penyebab penarikan mobil EV1 dengan sistem “tersangka”.

Menurut Chris, ada tujuh tersangka yang patut ditengarai sebagai penyebab matinya EV1. Mereka adalah konsumen, teknologi baterai, perusahaan minyak, perusahaan mobil, pemerintah Amerika, Badan Regulator Udara California (CARB), dan bahan bakar hidrogen.

Tersangka pertama: Konsumen. Humas GM menyalahkan konsumen karena dalam pemilihan mobil, konsumen hanya mementingkan daya dan jarak tempuh mobil. Tidak memerhatikan segi keekonomisan bahan bakar maupun emisinya.

Tersangka kedua: Teknologi baterai. Humas GM juga menyalahkan belum adanya teknologi baterai yang mumpuni untuk Design Requirement and Objective (DRO) sebuah mobil komersial. Hal ini dibantah oleh Alan Cocconi, insinyur tersohor di Amerika. Alan mengatakan menggunakan baterai laptop, EV1 bisa menempuh sejauh 300 miles dan daya hingga 26,4 kWh.

Tersangka ketiga: Ini yang dinilai paling “kejam”. Perusahaan minyak. Perusahaan minyak dianggap sebagai biang utama kehancuran mobil listrik ini. Di Amerika, pemakai utama BBM adalah sektor transportasi. Hadirnya EV1 membuat takut pengusaha minyak kehilangan konsumen utamanya.

Karena dianggap mengancam pasar BBM, perusahaan minyak melakukan berbagai upaya untuk menghentikannya. Upaya tersebut melalui konspirasi dengan perusahaan mobil dan melalui legislatif untuk mengeluarkan regulasi yang menghentikan mobil listrik.

Saat itu, isu teroris menjadi topik terhangat media massa. Sehingga sedikit yang menyoroti kelicikan perusahaan minyak menjegal mobil listrik di legislatif.

Tersangka keempat: Perusahaan mobil GM menarik EV1 karena melihat tidak ada tanda-tanda “ladang uang” pada mobil ini. Mekanisme mobil listrik memang lebih sederhana dibandingkan mobil yang menggunakan engine.

Dari sisi perawatan, mobil listrik juga sangat mudah. Tidak perlu penggantian oli, tidak ada tune up berat, umur baterai lebih lama dari engine, dan penggantian rem juga hampir tidak ada karena memiliki sistem regeneratif.

Minimnya perawatan pada EV1 berpotensi mematikan bisnis suku cadang kendaraan yang mempunyai arti pendapatan perusahaan mobil bisa turun drastis.

Tersangka kelima: Pemerintah Amerika. Pemerintah Amerika juga patut dipersalahkan karena meloloskan regulasi pelarangan mobil listrik. Andrew Card, ketua asosiasi pabrik mobil Amerika berhasil mendesak pemerintah yang kala itu dipimpin George W Bush mengeluarkan regulasi ini.

Di pihak asosiasi pabrik mobil, beralasan telah melakukan penelitian dan marketing EV1 besar-besaran, tapi minim peminat. Jika diteruskan akan merugikan perusahaan dan mengancam lebih 200.000 karyawan GM dan ratusan ribu karyawan pabrik mobil lainnya.

Tersangka keenam: Badan Regulator Udara California (CARB). Di California, isu udara bersih sangat sensitif sejak kasus awan hitam di atas langit California. CARB bertugas untuk mengawasi aplikasi regulasi emisi asap dan menekan industri yang menghasilkan emisi berbahaya di udara.

CARB telah diperjuangkan selama lebih 12 tahun. Tapi, tiba-tiba melunak setelah dipimpin Alan Lloyd dari Partai Demokrat. Melunaknya sikap CARB ini memuluskan usaha penarikan EV1 di California.

Tersangka ketujuh: Bahan bakar hidrogen. Hadirnya bahan bakar selain minyak, yaitu hidrogen, menjadi pesaing utama mobil listrik. Penemu hidrogen mengklaim bahwa bahan bakar ini mempunyai energi 4 kali lebih besar dari baterai dan memiliki emisi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan mobil listrik.

Klaim tersebut mematikan harapan masyarakat terhadap mobil listrik. Kenyataannya, mobil bahan bakar hidrogen sampai saat ini masih dalam bentuk prototipe, belum berhasil dikomersialkan. Bahkan, mobil hidrogen ini lebih berisiko ledakan terhadap penumpangnya dan harga hidrogen sangat mahal Rp 60.000 per kilogramnya.

Walhasil, film dokumenter ini berhasil menggugah rakyat Amerika untuk menghidupkan kembali mobil listrik. Tahun 2011, dengan mengusung tema Revenge of The Electric Car, Negeri Paman Sam melirik kembali pengembangan mobil listrik.

Hal ini didesak karena tingginya harga minyak dunia yang membuat warga Amerika sendiri kesulitan memperoleh BBM kala itu, diikuti oleh rendahnya pendapatan warga karena krisis ekonomi sedang melanda negara tersebut.

Di Indonesia, mobil listrik digagas pada 2012, terlambat 1 tahun dibandingkan Amerika. Tapi, termasuk lebih baik dibandingkan negara-negara lain. Negara yang sedang gencar mengembangkan mobil listrik adalah Amerika, Tiongkok, Jepang, dan Indonesia. Kala itu, kita berbangga karena start race mobil listrik kita sejajar dengan negara-negara penguasa teknologi.

Tapi rupanya, film serial “pembunuhan berencana” mobil listrik di Amerika tersebut “diputar kembali” di Indonesia.“Invisible hands” bekerja dengan baik. Gelagatnya nyata di negara ini. Diawali dengan “serangan” mobil-mobil dengan semboyan murah dan ramah lingkungan. Padahal, jelas-jelas mengonsumsi BBM hidrokarbon.

Bahkan, cara yang dilakukan “aktor-aktornya” lebih “sadis” dengan akting yang jauh lebih cantik ketimbang para aktor di Amerika. Tak peduli jika proyek ini dicanangkan oleh Presiden SBY kala itu, atau Menteri BUMN Dahlan Iskan saat itu yang menyiapkan perusahaan mobil listriknya serta dana pribadi yang tak sedikit.

Ada pula Menteri ESDM mendukung regulasinya, Menteri Perindustrian dan Perdagangan menyiapkan kebijakan bebas bea cukai impor baterai lithium. Menteri Lingkungan Hidup membantu mengampanyekan mobil ini.

PLN menyiapkan perangkat teknisnya. Kampus ternama Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dan Universitas Indonesia membantu penelitiannya. Dan yang paling penting dari yang terpenting, rakyat Indonesia menyambutnya!

Agar proyek ini berjalan lancar, Dahlan Iskan berhasil membujuk Ricky Elson mau ke Indonesia mengembangkan mobil listrik tersebut. Padahal, Ricky kala itu telah bekerja sebagai kepala divisi penelitian dan pengembangan teknologi permanen magnet motor dan generator NIDEC Corporation, Kyoto, Minamiku-kuzetonoshiro cho388, Jepang.

Maka lahirlah mobil listrik Tucuxi, Selo, dan Gendhis. Tucuxi adalah mobil sport berkelir merah bertenaga listrik dengan desain mirip mobil Alfa Romeo. Dalam uji coba yang dikemudi Dahlan Iskan, mobil ini mengalami insiden di Magetan.

Melihat kondisi Tucuxi yang ringsek, Dahlan Iskan memerintahkan ahli mobil listrik kepercayaannya, Ricky Elson dan Kupu-Kupu Malam menciptakan mobil baru. Maka lahirlah Selo, mobil listrik berkelir kuning mirip McLaren 12C dan Gendhis, mobil listrik dengan desain mirip Toyota Alphard.

Dua dari 16 mobil dalam proyek pengadaan mobil listrik yang disponsori oleh Pertamina, Perusahaan Gas Negara (PGN), dan Bank BRI itu melakukan aksi perdananya sebagai mobil operasional Konferensi Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali pada Oktober 2013.

Sayang, proyek mimpi indah itu berubah jadi mimpi buruk dalam bayang-bayang kriminalisasi. Kejagung menetapkan Direktur Utama PT Sarimas Ahmadi Pratama, Dasep Ahmadi (DA), dan Direktur Utama Perum Perikanan Indonesia, Agus Suherman (AS) sebagai tersangka.

Status tersangka tersebut berkaitan dengan dugaan korupsi pengadaan 16 mobil listrik senilai Rp 32 miliar. Padahal, dana itu sebagian besar didapatkan dari CSR atau sponsorship perusahaan BUMN untuk riset pembuatan 16 mobil listrik sebagai program green energy pada KTT APEC di Bali saat itu. Padahal, judulnya jelas itu adalah riset ilmiah.

Ricky Nelson pun saat itu tak kuat menghadapi tekanan. Ia memutuskan balik ke Jepang karena merasa tak diperlakukan seharusnya di negara asalnya sendiri. Bahkan hingga kini, Dahlan Iskan belum juga lepas dari berbagai jeratan hukum.

Rakyat dipaksa melupakan proyek ini dalam sekejap. Seolah tak boleh ada yang berhasil memasarkannya secara masif. Cukup sebatas prototipe saja. Atau sebatas riset kampus saja.

Menyakitkan. Tapi, itulah fakta yang ditemui jika melawan kejamnya para “pembunuh” mobil listrik di dunia. Tak perlu merindukan langit biru bebas polusi. Dan tak perlu mengidamkan mobil hemat energi. Pun akan percuma dimasukkan dalam blueprint perencanaan penghematan energi nasional.

Dosen dan mahasiswa, serta siswa SMK yang telah mengembangkan mobil listrik cukuplah tersenyum memegang piala di arena kompetisi karya ilmiah di tingkat nasional.

Setidaknya, mudah direkrut perusahaan otomotif sudah lebih dari cukup. Tak perlu mimpi memasarkannya, sebab invisible hands para “pembunuh berdarah dingin” tetap memantau setiap rencana itu. Dan kita belum siap melawannya. (rom/k11)

Mahasiswa Magister Energi Universitas Diponegoro Semarang

Manager Pro Bisnis Kaltim Post